TAK MELAYU HILANG DI BUMI. Tentu ada alasan Laksamana Hang Tuah mengungkapkan kata itu. Eksistensi dan keberadaan Puak Melayu di berbagai sektor serta bidang lah, salah satu makna ungkapan Laksamana Hang Tuah tersebut.
Puak Melayu boleh saja berkibar di jagat ini. Namun, bagaimana di Medan?. Di daerah pusat Kesultanan Deli ini, justru berbuah ironi. Simbol-simbol kejayaan Puak Melayu, satu per satu ditelan kemajuan jaman.
Gedung Mahkamah Syariah, Gedung Kerapata Adat, Kampong Soeltan, Rumah Panggung di Kota Matsum, Gedung eks Balai Pustaka, Gedung eks Pendidikan Sekolah dan sebagainya, yang merupakan beberapa simbol kejayaan Puak Melayu, hanya tinggal bekas.
Undang-undang No 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, juga tak mampu melindungi simbol-simbol kejayaan Puak Melayu tersebut. Pembangunanpun menjadi alasan, peninggalan Kesultan Deli, yang telah menjadi cagar budaya tersebut.
Kebanggaan etnis Melayu di Kota Medan, kini hanya tinggal Masjid Raya Al-Mansoen, Istana Maimoon, Masjid Soletan Ma’moen Al-Rasjid di Kecamatan Medan Labuhan dan Taman Sri Deli.
Namun, nasib Taman Sri Deli, yang lokasinya berdekatan dengan Masjid Raya Al-Mansoen dan Istana Maimoon, tak ubahnya seperti manusia yang sedang menjalani bedah plastik. Ciri khas Melayu lokasi yang merupakan bagian cagar budaya tersebut hilang, akibat pembangunan.
Bayangkan saja, asset etnis Melayu tersebut sempat berpindah tangan kepada salah seorang pengusaha Benny Basri, dengan harga Rp 3 miliar. Bahkan pengusaha WNI turunan tersebut, sempat memporak-porandakan Taman Sri Deli, hanya demi kepentingan bisnisnya.
Mujurlah, ketika itu, berbagai elemen masyarakat dan para Wakil Rakyat yang duduk di DPRD Sumut mengahalangi pembangunan hotel, di kawasan cagar budaya tersebut.
Pada tahun 2002, Pemerintah pusat merencanakan program Penataan kawasan dan rehabilitasi pada gedung gedung bersejarah, yang disebut dengan Revitalisasi Kawasan Bersejarah. Taman Sri Deli termasuk kawasan yang akan memperoleh revitalisasi tersebu. Sayangnya, entah kenapa proyek tersebut mengalami kegagalan.Tahun 2003, atas permintaan Walikota Medan, program revitalisasi muncul lagi. Revitalisasi Penataan Kawasan Taman Sri Deli, nama kegiatannya. Proyek tersebut berbiaya Rp. 1,7 milyar. Sayangnya, upaya tersebut menghadapi kendala, setelah diketahui Taman Sri Deli telah berpindah hak ke tangan pengusaha Benny Basri. Salah satu jalan mewujudkan program pembangunan, Pemko Medan membeli lokasi tersebut kepada Benny Basri, dengan nilai yang sangat fantastis, Rp 13 milyar. Tentunya, pembeliannya dengan menggunakan APBD. Setelah pembelian dengan nilai fantastis tersebut, pekerjaan Revitalisasi Penataan Kawasan Taman Sri Deli, direalisasikan dan dilaksanakan dengan anggaran biaya sebesar Rp. 1,7 M dari sumber dana APBN Tahun Anggaran 2003. Proses pelaksanaannya dikelola pada Dinas Tata Ruang dan Permukiman Sumatera Utara, sebagai perpanjangan tangan pusat (Pimbapro). Masih dalam tahun yang sama, Pemko Medan melaksanakan kegiatan di kawasan Taman Sri Deli berupa pekerjaan Penataan dan lampu dengan sumber dana dari APBD. Alokasi anggaran Rp 2 miliar lebih itu melalui Dinas Pertamanan Kota Medan, dengan kegiatan pengadaan lampu taman dan pembuatan kolam kecil serta pengadaan mesin air mancur. Tahun 2004, dana revitalisasi kawasan Taman Sri Deli lagi-lagi muncul. Dana Rp 800 juta yang bersumber dari APBN ini untuk pekerjaan penataan taman dan pemasangan con blok serta pembuatan Bok Bunga, sekaligus pemasangan tiang lampu disekeliling luar areal Taman Sri Deli. Tahun 2005, dana revitalisai turun lagi untuk kawasan Taman Sri Deli, yang berkisar Rp. 800 juta dari APBN. Proyek ini dikelola oleh Dinas Tata Ruang Permukiman Sumatera Utara dengan pekerjaan penataan pemasangan con blok, areal parkir dan pembuatan saluran tersier pada sekitar kawasan Mesjid Raya sampai dengan jalan trotoar di sekitar Istana Maimoen Medan. Permak terhadap Kawasan Taman Sri Deli terus saja berlanjut, meski bentuk asli lokasi cagar budaya tersebut tak kunjung terwujud. Buktinya saja pada APBD TA 2006 Kota Medan, Pemko Medan kembali mengucurkan dana Rp 3,3 milyar untuk kawasan cagar budaya tersebut. Uniknya, nama kegiatan tersebut terkesan tidak mengembalikan bentuk asli Taman Sri Deli. Penataan Taman dan Tempat Bermain Taman Sri Deli, demikian nama proyek tersebut. Betul, lagi-lagi kawasan cagar budaya tersebut ”diobok-obok” dan menyebabkan bentuk asli Taman Sri Deli betul-betul hilang. Tidak tahu persis, mengapa Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan sebagai pengelola dan anggaran teknis, justru menjadikan cagar budaya tersebut sebagai tempat bermain.
Nah, dalam APBD 2007, Pemko Medan kembali menganggarkan dana untuk pembangunan Taman Sri Deli. Lumayan besar dananya, mencapai 10 miliar. Sayangnya, lagi-lagi kegiatannya tidak mengembalikan ke bentuk asli Taman Sri Deli.
Kadis Perumahan dan Pemukiman Kota Medan Ir Iriadi Irwadi MM, beberapa waktu lalu mengatakan, di lokasi Taman Sri Deli akan dibangun berbagai fasilitas. Adapun fasilitas yang akan dibangun di lokasi Taman Sri Deli ini diantaranya; gedung untuk berbagai acara untuk umum, restoran menjajakan berbagai makanan dan minuman, memasarkan sovenir, sarana tempat bermain anak-anak, serta panggung hiburan.
Pernyataan Ir Iriadi tentunya tidak menjiwai makna dan semangat UU No 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya. Pasal 4 (1) UU No 5 tahun 1992 yang menyebutkan, “semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara”.
Penjelasan Pasal 4 (1) tersebut menyebutkan; Penguasaan oleh Negara mempunyai arti bahwa Negara pada tingkat tertinggi berhak menyelenggarakan pengaturan segala perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian benda cagar budaya. Pelestarian tersebut ditujukan untuk kepentingan umum, yaitu pengaturan benda cagar budaya harus dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, pariwisata, dan lain-lain.
Jadi jelas, hal-hal yang dilakukan Pemko Medan dalam hal ini Dinas Permumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Medan terhadap Taman Sri Deli bertentangan dengan UU No 5 tahun 1992.
Kini wajah dan bentuk cagar budaya Taman Sri Deli yang menjadi kebanggaan etnis Melayu benar-benar carut marut. Kayu Cendana di atas batu. Sudah diikat dibawa pulang, Adat di dunia memang begitu, Benda buruk tidak dipandang. (red)