Kabinet Dalam Perspektif Islam ( II )
By el fuad on May 11,2007
Berita Terkait
» Kabinet Dalam Perspektif Islam ( III )
by elfuad posted on May 14,2007
» KABINET DALAM PERSPEKTIF ISLAM ( IV )
by elfuad posted on May 16,2007
» Menteri Hukum dan HAM : Jajaran Pemasyarakatan Harus Lakukan Introspeksi
by jansen posted on Apr 30,2008
» Menyimak Kasus Tanah Meruya Selatan TANAH MENURUT HUKUM ISLAM ( II )
by elfuad posted on May 23,2007
» Pernyataan SikapÂ� AlumniÂ� Resimen Mahasiswa Indonesia
by redaksi posted on Jul 30,2007
Kabinet Zaman Daulah 'Abbasiah
Pada masa Daulah 'Abbasiah pertama, kementerian itu sudah merupakan institusi resmi. Kepala Negara Daulah 'Abbasiah yang pertama ialah Abu 'Abbas. Beliau telah melantik Abu Salamah Al-Khallal Hafas Ibnu Sulaiman Al-Hamzani menjadi Perdana Menteri. Dialah orang pertama secara resmi dalam pemerintahan Islam menjabat sebagai menteri.
Menteri pada masa itu menjadi pembantu Kepala Negara. Dia berhak melantik Kepala Daerah serta pegawai dan berhak pula memecatnya jika bersalah, mengawasi kelancaran roda-roda pemerintahan, menentukan pengiriman dan penerimaan Korps Diplomatik, Delegasi atau Missi, mengawasi keuangan negara, berkuasa penuh dalam urusan pendapatan dan pengeluaran negara. Melihat kepada tugasnya yang sedemikian, maka menteri itu sebenarnya sudah menjalankan fungsi Kepala Negara.
Sesudah wilayah negara Islam bertambah luas dan urusan semakin banyak maka bertambah tinggi pulalah kedudukan menteri-menteri itu sehingga rakyat hampir lupa kepada Kepala Negaranya ( Khalifah ). Semua mata dan perhatian tertumpu kepada menteri. Jika seorang menteri berhasil dalam menjalankan tugasnya dengan baik, maka rakyat memujinya dan akan diberikan berbagai gelar.
Pada masa Daulah 'Abbasiah II, negara dan pemerintahan mengalami kemunduran. Kehidupan rakyat kucar kacir. Perekonomian merosot, tindakan keganasan dan kejahatan meningkat dalam berbagai bentuk, kas negara kosong, kemelut politik dalam negeri tidak dapat diatasi. Akibatnya kedudukan Kepala Negara menjadi lemah. Ia tidak mempunyai wewenang lagi, perintahnya tidak dipatuhi lagi oleh rakyat. Tatkala krisis pemerintahan Daulah 'Abbasiah II ini sampai kepuncaknya, rakyat bangkit, terjadilah pergolakan hebat. Rakyat membentuk satu pemerintahan baru dengan di ketuai oleh seorang tokoh. Orang yang memerintah ini dinamai mereka "Rais Al-Wuzaraak" (Perdana Menteri), sedangkan yang memimpin urusan tertentu dinamakan "Wazir" (menteri)
Melihat pemerintahan yang dibentuk, nyatalah bahwa mereka sudah membentuk satu kabinet dengan beberapa orang menteri disamping Kepala Negara yang bersifat simbolik. Oleh karena menteri-menteri yang memegang kekuasaan, maka terjadilah perebutan kursi menteri dikalangan masyarakat. Kemelut itu terjadi pada penghujung abad ke 2 H.
Pemimpin-pemimpin yang menganggap dirinya cukup mampu, giat mengadakan kampanye untuk merebut hati rakyat. Untuk mencapai tujuan ini mereka tidak segan-segan menyogok siapa saja untuk melicinkan rencana mereka. Kursi menteri dianggap sebagai satu barang yang sangat berharga sehingga mereka tidak keberatan mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli kedudukan itu.
Dalam hubungan ini, Ibnu Tabathiba mengatakan : " Situasi politik sangat buruk ketika itu. Sering terjadi pelantikan dan pemecatan. Dalam sehari terjadi pelantikan 19 orang menjadi Perdana Menteri di Kufah. Dari setiap menteri yang dilantik itu, Kepala Negara menerima sejumlah uang. Jabatan itu dibeli oleh orang yang bersangkutan dengan memberikan imbalan kepada Kepala Negara."
Sesudah menerima pelantikan itu, seorang demi seorang meninggalkan Kepala Negara. Mereka berkumpul mengadakan diskusi tentang sikap apa yang harus diambil dalam suasana krisis itu. Dari hasil diskusi diambil kesimpulan, siapa yang paling akhir tiba di Kufah, dialah yang akan menjadi menteri mengepalai pemerintahan di wilayah itu. Setiap menteri mempunyai pengikut dan pengawal keselamatan untuk dirinya. Mereka sangat setia dan memuji-mujinya jika layanan menteri kepada mereka dinilai cukup baik. Akan tetapi jika menteri melakukan satu kesalahan, mereka mencaci makinya habis-habisan dan akhirnya menggulingkannya.
Bukan saja Kepala Negara tetapi menteri-menteri pada masa itu juga merupakan seorang yang materialistis dan tamak kepada harta.Kepala Negara dan Menteri hidup dalam kemewahan, bersenang-senang dengan penghuni istana memakan hasil keringat rakyat. Cukai yang mesti dibayar oleh rakyat diperbesar dan cara pemungutannya dilakukan secara lebih intensif.
Kepincangan hidup yang melanda Daulah 'Abbasiah itu mengakibatkan kelemahan pemerintahan. Pada saat Kepala Negara tidak mempunyai kemewahan lagi maka dengan sendirinya kedudukan menteripun semakin lemah dan merosot. Oleh sebab ramainya orang yang mengaku sebagai menteri, maka nama menteri itu menjadi tercemar dan kedudukannya merosot dimata rakyat. Oleh sebab itu negara-negara Islam yang kecil ketika itu tidak mau menyebut Kepala Negaranya dengan gelaran menteri. Mereka menggunakan nama baru, yaitu "Amir Al-Umarak". Dialah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam negara, bukan khalifah. Orang pertama yang menerima gelar ini adalah Ibnu Ra'iq, suku bani Hamdan tahun 324 H.
Wazir atau menteri pada masa itu tidak pernah meneliti atau mengawasi pemerintahan di daerah-daerah. Nama Wazir itu hanya bersifat lambang belaka. Lain halnya dengan Ibnu Ra'iq, mereka menjalankan roda-roda pemerintahan dengan mengadakan pengawasan terhadap perkembangan daerah dan berusaha memajukannya yang di dalam negara kita disebut dengan istilah Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PPDT). Perdana Menteri sesudahnya tinggal melanjutkan langkah-langkah Ibnu Ra'iq dan sistem pemerintahan a.
Seluruh kekayaan pemerintahan dipertanggung jawabkan kepadanya. Amir Al-Umaraklah yang mengatur kemanakah kekayaan negara hendak disalurkan. Anggaran Belanja Negara ditetapkan. Kepala Daerah ikut mengatur pengeluaran negara tanpa mengindahkan Baitul Maal. Gelaran Wazir bagi yang menjalankan fungsi Perdana Menteri ini digunakan juga pada masa Bani Bawaihi sampai pada tahun 449 H. Sesudah itu kekuasaan pindah ketangan bangsa Turki.
Dari kenyataan sejarah itu dapatlah diketahui bahwa yang disebut Wazir (Menteri) itu adalah orang yang sudah mengerjakan fungsi Sulthan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa sistem pemerintahan sewenang-wenang berjalan terus pada masa itu sehingga pemerintahan dipegang oleh Raja keturunan asing. Kepala Negara hanya merupakan lambang. Mereka yang menguasai pemerintahan tidak menggunakan nama khalifah tetapi mereka namakan dengan Amir atau Sulthan. Orang yang sangat aktif menjalankan pemerintahan itu dinamakan dengan "Amir Al-Umaraak" atau "Sulthan".
Jabatan menteri hanya diberikan kepada orang yang dengan resmi dilantik oleh Kepala Negara. Sistem pemerintahan seperti ini dilaksanakan sampai pemerintahannya berakhir. Pada zaman 'Abbasiah II ini, Kepala Negara menetapkan kedudukan seorang menteri, mengingatkan kelemahan kedudukan para Amir, dan besarnya simpati rakyat kepada calon menteri. Amir-Amir dan Sulthan-Sulthan yakin bahwa pelantikan menteri itu adalah untuk kepentingan khalifah, mengingat kedudukannya sebagai penguasa tertinggi dalam menjalankan pemerintahan.
Jabatan menteri bukan warisan yang dipegang oleh satu keturunan atau golongan terus menerus. Jabatan tersebut boleh dipegang oleh golongan mana-mana juga walaupun ada kenyataan sejarah menunjukkan bahwa orang keturunan Parsi seolah-olah memonopoli jabatan itu. Demikian pula keturunan Baramikah, Bani Sahl dan Bani Tahir. Golongan tersebut dilantik menjadi menteri merupakan syarat mutlak sebab kekuasaan seorang menteri pada masa itu sudah merupakan kekuasaan seorang Sulthan. Biasanya sebelum meninggal dunia, Sulthan akan melantik seorang Gubernur untuk calon penggantinya. ( bersambung … )
60 times read
|